Sumber : Google |
PATOLA alias pasukan panta bola gerakan goyang pantat yang hari ini sangat digemari oleh sebagian anak mudah Papua mulai dari anak-anak hingga remaja. selain itu goyang patola ini pun sempat dipertontonkan dalam Festival Budaya Danau Sentani ajang pertunjukan budaya Papua khususnya suku Tabi di Papua yang dilaksanakan baru-baru ini di Sentani, Jayapura Papua.
Dalam ajang festival kali ini selain berbagai kebudayaan suku tabi dalam pembukaan festival ini juga di pertunjukan atraksi goyang patola oleh anak usia dini (5 - 12 th) namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah goyang patola ini merupakan budaya suku Tabi atau Papua pada umumnya ? Mengapa goyang ini di pertontonkan ? apa dampaknya bagi generasi mudah Papua ?
Patola mulai marak di Papua sekitar akhir tahun 2017 dan awal 2018 ini hingga banyak beredar di media sosial seperti facebook, instagram, youtube dan lainnya hingga hampir sebagian besar anak remaja hingga anak usia dini terpengaruh untuk melakukan aksi ini.
Patola ini merupakan bukan budaya orang Papua namun, patola merupakan suatu aktivitas porno aksi yang di pertontonkan dan dilakukan oleh setiap anak Papua. Goyak gerakan pantat bola ini pun salah satu bukti bahwa nilai-nilai luhur kebudayaan orang Papua sudah semakin terkikis oleh arus globalisasi sehingga orang Papua lupa akan kebudayaannya yang harus dilestarikan secara terus menerus.
Dampak yang bisa diperoleh dari goyang patola ini tentu saja tidak ada dampak yang positif namun lebih pada dampak negatif. Goyang patola seperti yang sudah disebutkan bahwa bukan budaya Papua namun, marak dilakukan hingga banyak beredar di media sosial hal ini membuktikan bahwa budaya orang Papua semakin terkikis. selain itu goyang patola juga merupakan sebuah gerakan porno aksi yang di pertontonkan ada dilakukan hingga berpotensi melakukan seks bebas dan berpotensi mendapatkan HIV/AIDS. Tentu saja dengan aksi menggoyangkan pantat akan memancing lawan jenis berereksi hingga akan memancing untuk berhubungan seksual dan dalam posisi ini tentu saja beresiko untuk mendapatkan penyakit HIV/AIDS. HIV/AIDS sejauh ini belum ditemukan cara menyembuhkan penyakitnya secara medis dan yang ada hanyalah obat untuk memperlambat virus HIV/AIDS akan tetapi jika melihat realita penanggulangan HIV/AIDS enah itu dari komisi penanggulangan AIDS dan dinas kesehatan dan rumah sakit yang kurang memadai walaupun banyak alokasi dana yang dikucurkan. Hal ini dibuktikan melalui angka ODHA yang setiap tahunnya meningkat di Papua. Dalam posisi ini harapan hidup orang asli saat ini tidak dapat dijamin untuk saat ini.
Selain itu Patola hingga HIV/AIDS ini merupakan salah satu dari sekian strategi pemusnaan etnis yang dilakukan oleh Kapitalisme melalui negara Indonesia melalui sistem kolonialisme Indonesia di Papua dengan kekuatan militer Indonesia dengan kepentingan mengakumulasi kekayaan sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan memproletarisasi manusianya demi mengakumulasi kekayaan tadi.
Selain itu juga apabila suatu negara mau menjajah suatu wilayah hal yang utama dilakukan adalah menghilangkan nilai-nilai budaya atau kebudayaan mereka karena, kebudayaan merupakan suatu unsur yang berpotensi untuk membangun suatu kekuatan dan juga bisa berakibat pada kegagalan atau krisis sistem kapitalisme ini sehingga, goyang patola adalah salah satu dari sekian cara untuk menghilangkan budaya dan norma hidup orang Papua.
Baca juga : Warning.. ! Orang Asli Papua Dilarang Sakit
Dengan demikian jelas bahwa aktor dari semua ini adalah sistem kapitalisme dan kolonialisme di Papua yang secara tersistematis mau menghilangkan kebudayaan dan norma orang Papua hingga mau memusnakan orang asli Papua dari tanah airnya sendiri. Sehingga setiap orang Papua saat ini berada dalam cengkraman kolonialisme Indonesia dan kapitalisme global untuk itu dituntut untuk memahami watak sistem kolonialisme dan kapitalisme di Papua dan bersatu untuk menghancurkan sistem yang menindas ini dengan menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis dan membangun sebuah sistem yang anti terhadap kapitalisme dan kolonialisme di Papua.
0 Komentar